Jumat, 13 Juli 2012

KKNI dan RUU PT: Angin Segar bagi Pendidikan Tinggi Vokasi


Oleh:
Dr. Ir. I Made Suarta, S.E., M.T.
Politeknik Negeri Bali
E-mail: i_md_suarta@yahoo.co.id

Pemerintah beberapa waktu yang lalu telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Dan, pada hari ini Jumat 13 Juli 2012 DPR telah mensyahkan Undang Undang Pendidikan Tinggi (UU PT). Kedua peraturan perundang-undangan tersebut, memberikan angin segar bagi pengembangan pendidikan tinggi vokasi di Indonesia.

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Lahirnya KKNI tidak terlepas dari Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.

KKNI terdiri atas 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang terendah sampai dengan jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi. Jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam jabatan operator. Jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis. Jenjang 7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam jabatan ahli. Setiap jenjang kualifikasi pada KKNI memiliki kesetaraan dengan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan, pelatihan kerja atau pengalaman kerja.

Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan dengan jenjang kualifikasi pada KKNI terdiri atas: (a) lulusan pendidikan dasar setara dengan jenjang 1; (b) lulusan pendidikan menengah paling rendah setara dengan jenjang 2; (c) lulusan Diploma 1 paling rendah setara dengan jenjang 3; (d) lulusan Diploma 2 paling rendah setara dengan jenjang 4; (e) lulusan Diploma 3 paling rendah setara dengan jenjang 5; (f) lulusan Diploma 4 atau Sarjana Terapan dan Sarjana paling rendah setara dengan jenjang 6; (g) lulusan Magister Terapan dan Magister paling rendah setara dengan jenjang 8; (h) lulusan Doktor Terapan dan Doktor setara dengan jenjang 9; (i) lulusan pendidikan profesi setara dengan jenjang 7 atau 8; dan (j) lulusan pendidikan spesialis setara dengan jenjang 8 atau 9.

Berlakunya KKNI memberikan implikasi pada adanya pengakuan setara di antara capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan kerja, dan pengalaman kerja. Dengan kata lain, seorang lulusan SMA/SMK dapat diakui kualifikasi kerjanya setara dengan lulusan program diploma apabila yang bersangkutan telah mengikuti pelatihan kerja tingkat teknisi/analis. Selain itu, seseorang juga bisa diakui kualifikasi kerjanya berdasarkan pengalaman kerja dalam bidang profesi yang ditekuni, dibuktikan dengan sertifikat kompetensi kerja yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi.
Dalam KKNI ini sudah diatur deskripsi umum dan deskripsi khusus untuk setiap jenjang kualifikasi. Hanya saja, deskriptor khusus yang ada masih bersifat generik dan belum spesifik untuk setiap bidang profesi. Karena itu, lembaga pendidikan tinggi perlu duduk bersama dengan asosiasi profesi dan dunia usaha/industri guna merumuskan deskriptor kerja yang spesifik yakni berupa atribut-atribut kemampuan kerja (employability attributes) yang perlu dimiliki seorang pekerja pada setiap jenjang kualifikasi sesuai bidang profesinya masing-masing.

Peran asosiasi profesi dan dunia usaha/industri dalam merumuskan atribut-atribut kemampuan kerja sangatlah strategis. Tidak dapat disangkal bahwa, tingginya angka pengangguran lulusan pendidikan tinggi saat ini tidak terlepas dari adanya kesenjangan antara kemampuan kerja yang dimiliki oleh lulusan dengan kriteria yang diharapkan oleh dunia usaha/industri. Kemampuan kerja (employability skills) menjadi isu yang sangat penting dalam beberapa tahun belakangan ini, sejalan dengan berkembangnya ekonomi berbasis pengetahuan. Adanya atribut-atribut kemampuan kerja baik berskala nasional maupun internasional, diharapkan mampu mendorong peningkatan mutu dan aksesibilitas sumberdaya manusia Indonesia ke pasar kerja nasional dan internasional.

Atribut-atribut kemampuan kerja untuk setiap bidang profesi pada setiap jenjang kualifikasi kerja dapat dijadikan landasan dalam menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan, bidang pelatihan kerja, serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja secara nasional. Ke depannya, KKNI diharapkan dapat menjadi jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan untuk membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) nasional berkualitas dan bersertifikat melalui skema pendidikan formal, nonformal, informal, pelatihan kerja atau pengalaman kerja.

Pendidikan Vokasi dalam RUU PT
Istilah pendidikan vokasi di Indonesia digunakan secara luas setelah tercantum dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Saat ini, pendidikan vokasi dilaksanakan oleh perguruan tinggi dalam bentuk Program Diploma, mulai dari Diploma I hingga Diploma IV atau Sarjana Terapan. Politeknik sebagai sub-sistem pendidikan tinggi diberikan tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.

Pendidikan tinggi vokasi identik dengan pendidikan di politeknik. Selama ini, politeknik menawarkan pendidikan tinggi vokasi hingga jenjang diploma empat (D-4) atau sarjana terapan yang sama dengan S-1 pada jalur pendidikan akademik. Melalui Undang Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang rancangannya sedang dibahas di DPR, nantinya pendidikan tinggi vokasi atau politeknik di Indonesia diberi peluang untuk membuka layanan pendidikan pada jenjang magister terapan (S2 Terapan) dan doktor terapan (S3 Terapan). Dibukanya peluang ini tidak terlepas dari diberlakukannya KKNI, yang didalammnya mengatur kualifikasi kerja untuk lulusan sarjana terapan, magister terapan, dan doktor terapan.

Keberadaan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) memberikan angin segar bagi pengembangan pendidikan tinggi vokasi di Indonesia. Lahirnya UU PT akan menjadi momentum bagi pengembangan pendidikan tinggi vokasi di Indonesia. Dengan demikian, politeknik nantinya tidak hanya menyelenggarakan pendidikan jenjang diploma, tetapi dimungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan jenjang S2 dan S3 Terapan.

Sebagai penyelanggara pendidikan terapan, politeknik sangat diharapkan untuk tetap “on the track”, yakni menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan mempersiapkan peserta didik agar memiliki keahlian terapan tertentu sesuai profesi yang akan ditekuni. Konsep pendidikan S2 Terapan dan S3 Terapan yang akan diselenggarakan di politeknik haruslah dirancang dalam konteks untuk menyiapkan lulusan agar mempunyai keahlian terapan yang setara dengan jenjang 8 dan 9 dalam KKNI.

Model pendidikan S2 dan S3 Terapan dalam sistem pendidikan di Indonesia masih berevolusi dan mencari bentuk. Di beberapa negara maju, model pendidikan S2 dan S3 Terapan sudah berkembang. Istilah dan terminologi yang digunakannya pun berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah “Master Applied”, “Master Vocational”, “Master Professional” yang diikuti dengan sebutan bidang profesi yang ditekuni. Walaupun dengan istilah yang berbeda, namun tujuannya hampir sama yakni menyiapkan lulusan untuk memiliki keterampilan kompetensi tertentu dengan didukung kemampuan teoritis dan analisis. Dengan model seperti ini, pendidikan S2 dan S3 Terapan yang diselenggarakan di Politeknik akan sangat berbeda dengan pendidikan S2 dan S3 pada umumnya yang lebih menekan kepada konsep teoritis. Model pendidikan terapan seperti ini sangat cocok untuk mereka yang berkarir di industri, selain memiliki keterampilan dengan kompetensi tinggi juga didukung oleh kemampuan teoritis dan analisis. Kemampuan teoritis diperlukan untuk mengembangkan praktek profesionalnya melalui riset. Sementara kemampuan analisis diperlukan untuk memecahkan permasalahan praktek profesionalnya melalui pendekatan inter atau multidisipliner. 

(Penulis, Doktor dalam Bidang Pendidikan Vokasi, Dosen di Politeknik Negeri Bali).