Oleh:
Dr. Ir. I Made Suarta, S.E., M.T.
Politeknik Negeri Bali
E-mail: i_md_suarta@yahoo.co.id
Pemerintah
beberapa waktu yang lalu telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun
2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Dan, pada hari ini Jumat 13 Juli 2012 DPR telah mensyahkan Undang Undang Pendidikan Tinggi
(UU PT). Kedua
peraturan perundang-undangan tersebut, memberikan angin segar bagi pengembangan
pendidikan tinggi vokasi di Indonesia.
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman
kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur
pekerjaan di berbagai sektor. Lahirnya KKNI tidak terlepas dari Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.
KKNI terdiri atas 9
(sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang
terendah sampai dengan jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi. Jenjang
1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam jabatan operator. Jenjang 4
sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis. Jenjang
7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam jabatan ahli. Setiap jenjang
kualifikasi pada KKNI memiliki kesetaraan dengan capaian pembelajaran yang
dihasilkan melalui pendidikan, pelatihan kerja atau pengalaman kerja.
Penyetaraan capaian
pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan dengan jenjang kualifikasi pada
KKNI terdiri atas: (a) lulusan pendidikan dasar setara dengan jenjang 1; (b) lulusan
pendidikan menengah paling rendah setara dengan jenjang 2; (c) lulusan Diploma
1 paling rendah setara dengan jenjang 3; (d) lulusan Diploma 2 paling rendah
setara dengan jenjang 4; (e) lulusan Diploma 3 paling rendah setara dengan
jenjang 5; (f) lulusan Diploma 4 atau Sarjana Terapan dan Sarjana paling rendah
setara dengan jenjang 6; (g) lulusan Magister Terapan dan Magister paling
rendah setara dengan jenjang 8; (h) lulusan Doktor Terapan dan Doktor setara
dengan jenjang 9; (i) lulusan pendidikan profesi setara dengan jenjang 7 atau
8; dan (j) lulusan pendidikan spesialis setara dengan jenjang 8 atau 9.
Berlakunya KKNI memberikan
implikasi pada adanya pengakuan setara di antara capaian pembelajaran yang
diperoleh melalui pendidikan, pelatihan kerja, dan pengalaman kerja. Dengan
kata lain, seorang lulusan SMA/SMK dapat diakui kualifikasi kerjanya setara
dengan lulusan program diploma apabila yang bersangkutan telah mengikuti
pelatihan kerja tingkat teknisi/analis. Selain itu, seseorang juga bisa diakui
kualifikasi kerjanya berdasarkan pengalaman kerja dalam bidang profesi yang
ditekuni, dibuktikan dengan sertifikat kompetensi kerja yang diterbitkan oleh lembaga
sertifikasi profesi terakreditasi.
Dalam KKNI ini sudah diatur
deskripsi umum dan deskripsi khusus untuk setiap jenjang kualifikasi. Hanya
saja, deskriptor khusus yang ada masih bersifat generik dan belum spesifik
untuk setiap bidang profesi. Karena itu, lembaga pendidikan tinggi perlu duduk
bersama dengan asosiasi profesi dan dunia usaha/industri guna merumuskan
deskriptor kerja yang spesifik yakni berupa atribut-atribut kemampuan kerja (employability attributes) yang perlu dimiliki seorang pekerja pada
setiap jenjang kualifikasi sesuai bidang profesinya masing-masing.
Peran asosiasi profesi dan
dunia usaha/industri dalam merumuskan atribut-atribut kemampuan kerja sangatlah
strategis. Tidak dapat disangkal bahwa, tingginya angka pengangguran lulusan
pendidikan tinggi saat ini tidak terlepas dari adanya kesenjangan antara
kemampuan kerja yang dimiliki oleh lulusan dengan kriteria yang diharapkan oleh
dunia usaha/industri. Kemampuan kerja (employability
skills) menjadi isu yang sangat penting dalam beberapa tahun belakangan ini,
sejalan dengan berkembangnya ekonomi berbasis pengetahuan. Adanya atribut-atribut
kemampuan kerja baik berskala nasional maupun internasional, diharapkan mampu mendorong
peningkatan mutu dan aksesibilitas sumberdaya manusia Indonesia ke pasar kerja
nasional dan internasional.
Atribut-atribut kemampuan
kerja untuk setiap bidang profesi pada setiap jenjang kualifikasi kerja dapat
dijadikan landasan dalam menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan
antara bidang pendidikan, bidang pelatihan kerja, serta pengalaman kerja dalam
rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja secara nasional. Ke depannya, KKNI
diharapkan dapat menjadi jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan untuk
membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) nasional berkualitas dan bersertifikat
melalui skema pendidikan formal, nonformal, informal, pelatihan kerja atau
pengalaman kerja.
Pendidikan
Vokasi dalam RUU PT
Istilah pendidikan vokasi di
Indonesia digunakan secara luas setelah tercantum dalam Undang Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan vokasi merupakan
pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Saat
ini, pendidikan vokasi dilaksanakan oleh perguruan tinggi dalam bentuk Program
Diploma, mulai dari Diploma I hingga Diploma IV atau Sarjana Terapan. Politeknik
sebagai sub-sistem pendidikan tinggi diberikan tugas oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
Pendidikan tinggi vokasi identik dengan
pendidikan di politeknik. Selama ini, politeknik menawarkan pendidikan tinggi vokasi
hingga jenjang diploma empat (D-4) atau sarjana terapan yang sama dengan S-1 pada
jalur pendidikan akademik. Melalui Undang Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang
rancangannya sedang dibahas di DPR, nantinya pendidikan tinggi vokasi atau
politeknik di Indonesia diberi peluang untuk membuka layanan pendidikan pada
jenjang magister terapan (S2 Terapan) dan doktor terapan (S3 Terapan).
Dibukanya peluang ini tidak terlepas dari diberlakukannya KKNI, yang
didalammnya mengatur kualifikasi kerja untuk lulusan sarjana terapan, magister
terapan, dan doktor terapan.
Keberadaan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) dan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT)
memberikan angin segar bagi pengembangan pendidikan tinggi vokasi di Indonesia.
Lahirnya UU PT akan menjadi momentum bagi pengembangan pendidikan tinggi vokasi
di Indonesia. Dengan demikian, politeknik nantinya tidak hanya menyelenggarakan
pendidikan jenjang diploma, tetapi dimungkinkan untuk menyelenggarakan
pendidikan jenjang S2 dan S3 Terapan.
Sebagai penyelanggara pendidikan terapan,
politeknik sangat diharapkan untuk tetap “on
the track”, yakni menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan mempersiapkan
peserta didik agar memiliki keahlian terapan tertentu sesuai profesi yang akan
ditekuni. Konsep pendidikan S2 Terapan dan S3 Terapan yang akan diselenggarakan
di politeknik haruslah dirancang dalam konteks untuk menyiapkan lulusan agar
mempunyai keahlian terapan yang setara dengan jenjang 8 dan 9 dalam KKNI.
Model pendidikan S2 dan S3 Terapan dalam sistem
pendidikan di Indonesia masih berevolusi dan mencari bentuk. Di beberapa negara
maju, model pendidikan S2 dan S3 Terapan sudah berkembang. Istilah dan
terminologi yang digunakannya pun berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah “Master Applied”, “Master Vocational”, “Master
Professional” yang diikuti dengan sebutan bidang profesi yang ditekuni.
Walaupun dengan istilah yang berbeda, namun tujuannya hampir sama yakni
menyiapkan lulusan untuk memiliki keterampilan kompetensi tertentu dengan
didukung kemampuan teoritis dan analisis. Dengan model seperti ini, pendidikan
S2 dan S3 Terapan yang diselenggarakan di Politeknik akan sangat berbeda dengan
pendidikan S2 dan S3 pada umumnya yang lebih menekan kepada konsep teoritis.
Model pendidikan terapan seperti ini sangat cocok untuk mereka yang berkarir di
industri, selain memiliki keterampilan dengan kompetensi tinggi juga didukung
oleh kemampuan teoritis dan analisis. Kemampuan teoritis diperlukan untuk
mengembangkan praktek profesionalnya melalui riset. Sementara kemampuan
analisis diperlukan untuk memecahkan permasalahan praktek profesionalnya melalui
pendekatan inter atau multidisipliner.
(Penulis,
Doktor dalam Bidang Pendidikan Vokasi, Dosen di Politeknik Negeri Bali).